Mengenal VUCA & OMNI Channel Bagi Para Pelaku UMKM

Tetap Berpikir Positif dalam VUCA World

Ada kewajiban moral bagi kami untuk mulai memperkenalkan VUCA World dan Omni Channel kepada para pelaku UMKM, setidaknya mereka mulai menyadari akan setiap perubahan yang terjadi dalam era digital ini. Ada sebuah tulisan dari Lekasana TH yang menjelaskan VUCA dan tantangannya sebagai berikut:

MENGENAL DUNIA VUCA DAN TANTANGANNYA


Akronim VUCA merupakan singkatan Volatile, Uncertain, Complexity and Ambiguity. Istilah ini populer dalam dekade terakhir, menggambarkan lingkungan bisnis yang makin bergejolak, kompleks dan bertambahnya ketidakpastian. 

Istilah VUCA pertama kali digunakan dalam dunia militer pada era sembilan puluhan untuk menggambarkan situasi medan tempur yang dihadapi oleh pasukan operasional dimana informasi medan yang ada amat terbatas. Bertempur dalam keterbatasan informasi serasa berjalan dalam kebutaan dan bisa menimbulkan chaos Keadaan ini diistilahkan sebagai medan perang kabut (fog war). 

Sekolah bisnis masa 1980-90an banyak mengajarkan cara mengelola situasi bisnis yang relatif mudah diprediksi. Rutinitas dan stabilitas menjadi dasar asumsi. Resep sukses di masa lalu dianalisa dan dicari formulanya lalu menjadi acuan untuk perencanaan. Goal dan sasaran kinerja ditetapkan oleh perancang strategi perusahaan dengan alat semacam PDCA. Pada periode itu fokus organisasi adalah mengelola sumberdaya dengan efisien guna mencapai sasaran kinerja. Cara seperti ini masih dapat diandalkan sampai tibanya lingkungan VUCA (Volatile, Uncertain, Complexity, Ambiguity). Kata volatile merujuk kepada gejolak perubahan yang labil dan cepat. Saking cepat dan derasnya arus perubahan, maka para pebisnis kesulitan mengantisipasi apa yang akan terjadi selanjutnya.

“The greatest danger in times of turbulence is not the turbulence. It is to act with yesterday’s logic.“Peter F Drucker


Dalam situasi labil, memproyeksikan apa yang terjadi dimasa lalu justru bisa menyesatkan jika dijadikan acuan pengambilan keputusan. Para leaders perlu merespon dengan pola pikir yang tidak seperti biasanya. Skill dan pengetahuan yang tadinya menjadi andalan sangat mungkin justru tidak relevan lagi. 

Sebagian besar dari angkatan kerja dengan pengetahuan masa lalu justru kini bisa berubah menjadi beban perusahaan. Jika pengetahuan serta pengalaman mereka tidak dilengkapi reskilling dan perubahan mindset akan sulit untuk mampu berenang didalam derasnya lingkungan VUCA. Team baru memerlukan leader yang bisa melakukan terobosan. Mereka yang menjadi bagian team sukses masa lalu bisa jadi tidak termasuk dalam gerbong leader masa depan. Anggaran lima tahunan dengan cepat menjadi kadaluarsa. Bahkan anggaran dan sasaran kerja tahunan jika tidak kontinyu direvisi justru akan tidak relevan.


Dalam situasi VUCA para leader dituntut untuk memiliki kejelasan visi jangka panjang namun fleksibel dan adaptif dengan durasi tempo respon yang pendek. Value dan outcome menjadi pegangan untuk decision making. Visi jangka panjang tetap dipegang menjadi pemandu oleh leader. Namun pendekatan adaptif dan agile menjadi pendekatan di lapangan. Pola pengelolaan organisasi yang kaku dan bergantung pada kepastian akan menyulitkan gerak cepat para pelaku lapangan justru menjadi penghambat bisnis bermanuver meraih kesempatan pertumbuhan. 

Para pimpinan di organisasi yang birokratif akan kesulitan bergerak lincah. Fenomena tertekannya perusahaan oleh gejolak VUCA ini sudah terjadi pada berbagai industri. Namun sayangnya banyak pelaku usaha yang sampai saat ini belum menyadari benar mereka sudah berada di ambang batas titik kritis survival. Tidak mengherankan ketika kesadaran atas komplikasi VUCA baru muncul, meresponpun cenderung sudah terlambat dan menjadi korbannya adalah keniscayaan.


Definisi VUCA:
Volatile: lingkungan bisnis yang labil, berubah amat cepat dan terjadi dalam skala besar.
Uncertain: sulitnya memprediksi dengan akurat apa yang akan terjadi.
Complex: tantangan menjadi lebih rumit karena multi faktor yang saling terkait.
Ambiguous: ketidakjelasan suatu kejadian dan mata rantai akibatnya.
Komponen pertama VUCA adalah volatilitas. Volatilitas ditandai munculnya berbagai tantangan baru yang sulit terbaca penyebabnya. Tantangan baru ini tidak memiliki pola yang konsisten. Mereka berubah dengan amat cepat. Apa yang menjadi ancaman dua tahun lalu bisa jadi sudah tergantikan oleh ancaman lain saat ini. 

Apa yang tadinya dipikirkan menjadi penyebab ternyata bukanlah akar dari suatu masalah. Apa yang terpikir sebagai inisiatif untuk solusi ternyata justru terbukti sebaliknya. Proses terbentuknya lingkungan volatile tidak terlepas dari pengaruh teknologi, munculnya tatanan ekonomi baru, berubahnya nilai-nilai dan gaya hidup, dan tersedianya pertukaran arus informasi, barang dan jasa dengan trend harga menurun dibarengi tingginya kecepatan arus perpindahan barang/jasa dan penyebaran informasi. 

Munculnya model ekonomi sharing transportasi dan akomodasi telah menimbulkan disruption terhadap kemapanan bisnis taksi dan perhotelan. Aplikasi seperti Grab, Uber dan Gojek mengguncang pemain esksis di bisnis angkutan dan transportasi. Model bisnis mereka menggulung hampir semua operator taksi di negara manapun di dunia. Airbnb tiba-tiba menjadi solusi yang menjawab kebutuhan para pelancong atau bahkan pebisnis yang membutuhkan penginapan dengan harga bersahabat, dan kualitas tidak kalah senyaman di rumah sendiri. 

Proyeksi dan perencanaan bisnis dituntut menjadi fleksibel dan adaptif dengan potensi munculnya disruptor, regulasi baru, perubahan teknologi, kompetisi, pola sosial dan gaya hidup konsumen. Perusahaan yang model strukturnya tambun dan kaku mulai mengalami kesulitan bermanufer dan tidak jarang bahkan bernafas. Langkah mereka terasa lamban dan perolehan pangsa pasar tererosi. Kecepatan merespon menjadi kunci sukses selain keakuratan membaca peta perubahan yang sedang terjadi. Pola senioritas dan penggunaan power sebagai model sukses menggerakkan tindakan di organisasi justru kini menjadi penghambat terbesar untuk menghasilkan terobosan dan kreatifitas.

Uncertainty atau ketidakpastian adalah momok bagi para pebisnis. Uncertainty lingkungan menjadi kondisi umum yang suka tidak suka menjadi bagian keseharian dalam dunia bisnis. Imbas dari kondisi global cepat atau lambat akan terasa akibatnya. Munculnya perbankan online misalnya telah berimbas terhadap ditutupnya 46000 kantor cabang bank di seluruh Eropa sejak tahun 2007. 

Impact dari Brexit telah mempengaruhi sebagian besar operasional perbankan dunia yang menggantungkan transaksi foreks di pasar London sebagai pasar kedua terbesar dunia. Terpilihnya Trump menjadi presiden US ke-45 pada akhir tahun 2016 adalah hal yang ada diluar dugaan para pengamat politik. Ketegangan hubungan diplomatik dan perang dagang dengan China menimbulkan efek pelemahan mata uang dan fluktuasi bursa saham di berbagai negara dunia ketiga. 

China yang dulunya menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia kini mulai diragukan sustainabilitynya. Kombinasi politik isolasionist Amerika, eskalasi konflik di Timur Tengah, melemahnya permintaan dari China menambah ketidakstabilan ekonomi global. Belum lagi kita selesai dihadapkan pada situasi diatas, kekeringan, perubahan cuaca ekstrim serta bencana alam selama sepuluh tahun terakhir telah mengancam stabilitas supply bahan pangan dunia. Harga komoditas panganpun merangkak naik sejak sepuluh tahun terakhir. Minyak bumi yang tadinya langka beberapa tahun ini harganya anjlok. Suplai minyak hasil fraksinasi lumpur pasir di Amerika Utara mengubah peta harga minyak dunia. Efeknya terasa dengan mulai jatuhnya raksasa minyak dan perusahaan pensupport logistiknya. Imbas berlapis dari kondisi ini mengakibatkan tingkat uncertainty yang lebih tinggi.


Complexity adalah komponen ketiga VUCA. Dalam situasi lingkungan VUCA kita akan kesulitan untuk memahami penyebab suatu masalah secara langsung. Interdepensi dan interkoneksi berbagai kejadian menjadi penyebab yang saling mempengaruhi satu sama lain dan mengakibatkan timbulnya masalah yang ada. Penyebab kompleksitas bisa berasal dari berbagai multiple faktor seperti: munculnya beragam kompetitor baru, disrupsi teknologi, berubahnya pola konsumsi, regulasi yang kompleks, perubahan pola supply chain, dan masih banyak faktor lainnya. 

Solusi yang tadinya dikira jawaban menjadi absurd ketika implementasi dijalankan dan hasilnya tidak kunjung meredakan masalah yang ada. Upaya menggali penyebab masalah sepertinya justru menemukan hal-hal baru yang tadinya tidak diperhitungkan. Kompleksitas masalah bisa membuat penentu kebijakan merasa frustasi. 

Masalah yang muncul dalam konteks VUCA adalah akibat tumpang tindihnya berbagai kejadian dan penyebab. Istilah yang digunakan oleh Ronald Heifetz untuk memberi nama kondisi ini adalah tantangan adaptif. Ketika satu organisasi mencoba menggunakan pendekatan linear seperti mencoba mengurai masalah dengan pendekatan analisa ‘tulang ikan’, solusi secara tuntas hampir tidak akan diperoleh dan masalah yang sama cenderung muncul lagi ke permukaan. 

Pendekatan mengatasi kompleksitas membutuhkan kearifan untuk melihat setiap komponen pelaku system dan bahkan termasuk bercermin kedalam diri atau organisasi sebagai kontributor masalah yang muncul. Proses inilah yang sering secara tanpa sadar dihindari oleh para perumus kebijakan. Kenyataan bahwa diri mereka menjadi bagian dari pembuat masalah yang ada menimbulkan rasa khawatir dan takut atas plakat kegagalan sebagai pimpinan. Situasi organisasi yang kental dengan senioritas dan gaya leadership yang lebih mengendalikan (controlling) akan melemahkan respom terhadap kompleksitas tantangan. 

Pola respon yang selalu melihat ke pihak luar sebagai penyebab masalah lebih memperuncing keadaan dan akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru dalam organisasi. Tidak jarang anggota yang memberikan feedback kejadian lapangan justru kecewa karena respon para atasan di kantor pusat yang cenderung menimpakan beban kekeliruan eksekusi kepada team lapangan. Situasi bisa semakin parah jika gaya pimpinan mengadopsi ABS (asal bapak senang) dan reaktif (mengontrol, perfeksionis, mengikuti arah angin yang diatas). Kompleksitas lingkungan memerlukan revitalisasi pola leadership. Tidak jarang justru yang ada diatas menjadi salah satu mata rantai penyebab utama persoalan yang muncul sebagai kompleksitas VUCA.

Ambiguity adalah faktor keempat lingkungan VUCA. Ambiguity memiliki padanan kata ‘membingungkan’. Bisa diumpamakan seperti melihat melalui kaca buram yang membuat para pembuat keputusan kesulitan memandang apa yang ada. 

Saat solusi yang diyakini tepat akan dijalankan, kepastian mencapai hasil dirasakan unpredicatable. Ambiguity ditandai dengan kesulitan mengkonsepsikan tantangan yang ada dan memformulasikan model solusinya. Pada saat ambiguity melanda maka para leaders dihadapkan pada keraguan untuk mengambil keputusan karena outcome menjadi amat tidak pasti. 

Contohnya ketika organisasi dihadapkan pada pada pertanyaan seperti apakah struktur organisasi yang harus diubah? terdesentralisasi atau tersentralisasi? Apakah akan diputuskan masuk ke pasar baru atau tetap bermain di pasar lama? Apakah akan ikut menawarkan produk dengan tambahan feature yang dianggap belum lazim? Apakah perlu melakukan aliansi strategics dengan pesaing atau berkompetisi? Apakah akan ikut meluncurkan platform online seperti start-up atau menggunakan pola konvensional? 

Para leaders merasakan adanya paradoks pada pilihan mereka. Artinya mereka menghadapi suatu dilema dan tidak tahu jawaban pastinya. Tidak jarang para leaders yang merasa dirinya sangat paham dan telah menemukan solusi menjadi ciut nyalinya saat masuk ke fase implementasi. Hasil lapangan yang diperoleh justru mementahkan asumsi yang diambil saat solusi baru dibuat. Bagi para leaders yang bertahan pada opininya dan mengandalkan pengalaman kesuksesan dimasa lalu tentu akan tidak mudah menerima realita ini. 

Ketegangan di organisasi muncul saat mereka yang di puncak merasa sebagai pengendali ‘otak’ dan mengganggap mereka yang dibawah adalah tangan serta kakinya. Sikap top manajemen yang seolah paling tahu, arogan, tidak mau tahu dan tidak mau mendengar apa yang mereka anggap sebagai ‘alasan’ orang lapangan justru akan makin memperburuk respon organisasi. Munculnya sikap ini biasanya berasal dari keadaan diri para leader sendiri yang sebenarnya tidak tahu persis harus melakukan respon apa namun malu mengakuinya. Bahkan mereka berharap ada jalan keluar dengan menggunakan power, menuntut teamnya dan secara sporadis mencoba berbagai inisiatif peningkatan kinerja. Situasi ambiguitas seperti ini dialami oleh organisasi global seperti Nokia dan Blackberry yang menjadi ‘korban’ atas kesuksesannya sendiri. 

Di Indonesia hal semacam ini sedang melanda para pemain industri farmasi etikal. Dengan munculnya BPJS dan peraturan pemerintah yang baru mengenai obat generik, para pemain lama yang telah terlena sekian puluh tahun menikmati lemahnya peraturan pemerintah sekarang mulai terhenyak dari tidur panjangnya. Beberapa dari mereka mencoba platform online menjual obat OTC maupun etikal. Namun cara mengelola people yang sangat konvensional dan gaya kepemimpinan yang hirarkis, serta SDM yang cenderung mandul collective thinkingnya membuat setiap langkah mereka tidak menghasilkan titik terang. Yang jelas mereka bisa dikatakan gagal beradaptasi dengan cepatnya perubahan yang terjadi dipasar. 

Di organisasi sekaliber konsultan manajemen atau lembaga audit kelas duniapun tidak terlepas mengalami fenomena ambiguitas. Mereka yang tadinya terbiasa untuk memberikan advis bisnis dan merekomendasikan perlunya perubahan di klien justru tidak mampu merumuskan dan memberi solusi keorganisasinya sendiri. Angka turnover yang meningkat tinggi di organisasi konsultan dan auditor selama dua dekade terakhir dan situasi kerja yang secara fisik menuntut jam kerja panjang, mempengaruhi kondisi kerja yang tidak sehat. Bekerja dan berkarir diterima sebagai fakta yang tidak bisa berjalan beriringan dengan keseimbangan waktu untuk keluarga dan pribadi. 

Di kalangan para pimpinan bahkan sampai terbentuk belief yang kuat bahwa untuk sukses perlu pengorbanan keluarga. Ini termasuk waktu serta perhatian ke keluarga atau bahkan ke diri sendiri yang menjadi terdepresiasi ketitik kompromistis hidup yang tidak lagi ‘hijau’. Ambiguitas diibaratkan seperti hidup dalam lingkungan berkabut yang menutupi pandangan jernih kesekeliling. Apa yang seolah dianggap fakta sebenarnya tidak lebih merupakan fatamorgana dan kebenaran dengan asumsinya yang diterima karena sudah menjadi kebiasaan dan juga dilakukan oleh banyak orang tanpa mempertanyakan lagi eksistensinya. Jumlah para leaders yang berani mengajukan pertanyaan apa yang sesungguhnya terjadi relatif lebih sedikit daripada yang diam. Mereka bisa jadi akan dianggap menentang arus atau bahkan dianggap aneh dalam kelompoknya. 


Mengenal VUCA dan Tantangannya.


OMNI Channel Bagi Para Pelaku UMKM
Pengertian Omni Channel adalah yaitu menggunakan lintas channel dalam transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual dan juga pembeli. Tujuannya adalah agar lebih memudahkan karena banyak pilihan sekaligus yang tidak terbatas pada atau platform saja.

Bagaimana Prinsipnya Menggunakan Omni Channel?

Omni channel ini bisa menggabungkan dua kanal bisnis yaitu online dan offline.

Bisa membawa customer online datang ke showroom atau toko online, dan sebaliknya yang datang offline bisa jadi tahu channel online.

Ini sudah diterapkan oleh Ikea dan Informa mereka aktif di channel digital dan offline yang saling melengkapi

Tidak selamanya masyarakat hanya online dan digital, kebiasaan shopping masih terus ada karena sebagian orang suka berbelanja langsung. Suatu ketika konsumen melihat akun instagram toko offline, dia tertarik dan melihat-lihat produk, saat ingin membeli dia memutuskan untuk datang ke alamat toko yang tertera. Ini yang dimaksud bahwa omni channel bisa menggabungkan kedua platform online dan offline

Anda sudah terbiasa menggunakan Omni Channel

Jika anda pernah mengalami hal seperti ini:

Suatu waktu anda membuka website tertarik karena mencari informasi produk atau jasa, kemudian tertarik hingga membeli penawarannya, kemudian melihat akun instagram, melihat marketplace, dan mungkin anda juga sudah tahu letak tokonya ada dimana.

Pada siang hari membeli melalui marketplace, sore hari membeli via facebook atau Instagram, di malam hari tertarik penawaran yang ada di website. Itulah semua chanel yang dengan bebas anda bisa memilih mana channel yang anda paling suka dan nyaman.

Tentu saja sebagai pebisnis harus memanfaatkan Omni Channel ini.

“Tidak harus menggunakan semua channel, tetapi harus benar-benar mengerti chanel apa yang paling tepat akan digunakan konsumen dari produk anda”

Cara Memanfaatkan Omni Channel ini untuk Bisnis:

Memahami customer journey, atau pengalaman pelanggan yang baru saja tahu produk atau jasa yang anda dari mulai awal tahu hingga tertarik untuk membeli. Sebagai contoh, saat melihat website anda mereka akan melihat-lihat isi website, bisa juga menuju instagram untuk cek postingan, atau melihat toko di marketplace, bahkan karena merasa dekat mereka tertarik datang langsung ke lokasi. Ada juga yang suka berkomunikasi untuk bertanya, baik via whatsapp, via chat, atau dm sosial media. Itu semua adalah bagian dari customer journey. Anda harus memenuhi semua aspek customer journey tersebut tanpa celah. Kebiasaan masyarakat yang suka kepo sosmed dan nonton youtube tetapi anda tidak aktif di sosmed dan youtube, hanya bermodal website atau facebook saja bagaimana bisa bersaing di era Omni Channel? 

Memilih channel digital yang paling tepat, meskipun kita dituntut untuk memaksimalkan semua channel digital tetapi juga harus tahu apa bisnis kita dan siapa customernya. DHA Digital sebagai agen Digital Marketing tentu kami tidak menggunakan channel marketplace, melainkan website, sosial media, dan komunikasi via chat maupun dm. Semaksimal mungkin channel yang tepat digunakan dan dimanfaatkan agar bisa memberikan pilihan. Tidak sedikit klien yang ingin datang, atau bertemu untuk diskusi lebih lanjut. Itulah peran penting Omni Channel saat ini justru kita tidak bisa memilih hanya online, atau hanya offline. Customer punya banyak pilihan, bukan cuma anda saja yang punya penawaran. 

Mengintegrasikan semua chanel yang saling berkaitan satu sama lain. Misalnya di dalam website dicantumkan link sosial media dan youtube, pun sebaliknya di sosial media dan youtube mencantumkan link ke website, atau sosial media ke youtube. Termasuk ada kontak, email, fitur chat, dm dll itu semua harus terintegrasi dan bisa dipilih. Termasuk juga alamat toko offline yang tercantum dan sekarang juga sudah lebih mudah mengintegrasikan dengan share location Google maps dan Google My Business. 

Menggabungkan dua channel online dan offline, meskipun sudah ramai di dunia online ada saatnya perlu membuka stand atau bazar untuk menunjukan channel online anda misalnya alamat website dan Instagram. Juga sebaliknya di dalam informasi online diberi keterangan apakah lokasi toko, showroom, atau saat akan membuka stand di sebuah acara. Semakin bagus Omni Channel yang dibangun untuk bisnis berarti anda sudah memberikan customer journey yang maksimal. Tapi semakin enggan membangun dan masih berkutat dengan 1-2 channel saja, termasuk cara beriklan mungkin cuma di Facebook Ads atau Google saja, bisa jadi akan kalah bersaing di kemudian hari. Sukses!


Komentar