Perilaku Konsumsi Millenials Indonesia

Generasi millennials adalah generasi yang paling banyak diperbincangkan saat ini. Mereka adalah generasi yang menjadi penghubung antara generasi analog dengan generasi digital. Beberapa dari mereka telah hidup sebagai digital native atau tumbuh dewasa dengan teknologi digital. Sebagian yang lain masih harus menjadi digital adopter atau pengadopsi teknologi digital. Meski begitu, perilaku mereka cenderung menarik untuk diamati karena memiliki perbedaan dibandingkan dengan generasi sebelumnya.



Jamak ditemui bahwa generasi millennials saat ini cenderung banyak melakukan hal yang berbeda dibandingkan orang tuanya. Mereka kerap berusaha untuk tampil berbeda dan juga ingin mengubah situasi menjadi lebih baik menurut perspektif dan metodenya sendiri. Itu sebabnya perilaku konsumsi yang ditunjukkan pun unik.




Hidup ditengah-tengah teknologi yang memberikan kemudahan, generasi millennials diprediksi akan banyak melakukan konsumsi. Namun ternyata perilaku millennials cenderung malah menjadi konservatif. Meski mudah untuk membeli sesuatu mereka lebih banyak kritis dalam membeli sesuatu sebab dalam pandangan millennials yang berpendidikan nilai dan fungsi adalah yang utama. Itu sebabnya millennials kerap dipandang sebagai anti-konsumerisme.

Sifat konservatif konsumsi generasi millennials sejatinya adalah hasil dari situasi pasar pekerjaan yang cenderung semakin mengecil. Teknologi otomasi saat ini berkembang pesat dan telah banyak menggantikan pekerjaan yang repetitif.

Dampaknya adalah, para millennials akan lebih selektif dalam mengkonsumsi merek. Selain sekuat tenaga untuk mencari harga termurah mereka juga akan loyal pada sebuah merek ketika diketahui bahwa merek tersebut benar-benar otentik. Uniknya persepsi otentisitas tersebut lebih banyak didapatkan lewat ulasan sejawat atau peers review yang banyak tersebat melalui video-video log (vlog), blog, sosial media maupun podcast. Sebelum membeli sesuatu mereka akan terlebih dahulu mencari ulasan-ulasan. Padahal, ulasan sejawat tersebut bisa jadi subjektif karena lebih berdasarkan opini pengalaman.



Aspek pengalaman hidup (life experience) adalah aspek yang juga banyak membentuk perilaku millennials. Contoh sederhana adalah meningkatnya kebiasaan untuk melancong, berkat semakin banyaknya penerbangan dan penginapan murah.  
Generasi millennials lebih banyak mencari pengalaman/kenikmatan hidup ketimbang berinvestasi dalam jangka panjang seperti untuk dana pensiun. Namun ini bukan berarti millennials enggan untuk berinvestasi.

Sebagaimana dilansir CNN Indonesia, diberitakan bahwa millennials lebih senang berinvestasi pada instrumen-instrumen atau efek yang beresiko rendah. Perilaku ini dinilai merupakan perwujudan dari kecenderungan untuk lebih ingin mengenal emiten secara lebih otentik. Millennials lebih percaya pada perusahaan-perusahaan yang mereka ketahui dekat dengan kesehariannya.

Semakin tingginya pendidikan millennials, akan membuat generasi ini semakin kritis terhadap sesuatu. Sehingga para pemilik merek diharuskan untuk dapat menyampaikan value yang mampu memberikan pengalaman, fungsi dan bahwa sesuai dengan tebal dompet millenials. Generasi yang terkenal memiliki kedermawaanan tinggi ini juga semakin sadar tentang situasi lingkungan dan masyarakat sehingga lebih menuntut merek untuk terlibat dalam aktifitas pembangunan dan pemberdayaan. 




Inilah keunikan konsumsi generasi millennials yang seharusnya dapat memberikan perubahan pada situasi pasar maupun masyarakat. Perubahan yang mereka lakukan tidak semata melalui ekspresi fisik seperti generasi sebelumnya. Namun juga dilakukan lewat tekanan-tekanan pada pasar dan perusahaan.

Komentar