Tenun & Batik, Produk Unggulan Kota Pekalongan

Tenun ATBM ini adalah potensi yang masih menawarkan inovasi
Sabtu dan Minggu ini kami manfaatkan untuk melihat dari dekat potensi ekspor dari Kota Pekalongan selain daya tarik kuliner aslinya. Tentunya potensi ekspor tenun dan batik masih akan menempati peringkat utama sebagai potensi ekspor Kota Pekalongan. Meskipun beberapa eksportir batik dari kota Pekalongan mengaku ada penurunan permintaan pada tahun-tahun sebelumnya namun mereka masih optimis di tahun berikutnya nanti ekspor batik dan tenun akan meningkat lagi, terutama untuk pasar-pasar ekspor yang non tradisional.

Selama ini mereka masih mengandalkan ekspor batik dan tenun ke USA, Eropa, Australia dan Jepang. Mereka akan mencoba pasar baru seperti Rusia dan Afrika yang mulai menampakkan tanda-tanda kebutuhan akan komoditas ini. TimurTengah pun merupakan pasar potensial yang perlu digarap dengan baik.

Permintaan tenun ATBM sebagai bahan home decoration
Tenun serat alami memang merupakan kekuatan dari kerajinan tenun kota Pekalongan saat ini mampu menembus pasar Jepang, seperti serat pisang dan serat nanas. Serat-serat alam lain pun masih memiliki peluang yang sama. Pemahaman produses terhadap pasar dan pnggunaan produk mereka di negara pembeli perlu ditingkatkan lagi untuk membangun strategi pemasaran yang lebih tepat.

Berkunjung ke Tenun RIdaka, kami mencoba menggali informasi potensi tenun serat alami dan beberapa peluang dalam dan luar negeri yang bisa digarap oleh para produsen tenun dan batik.di kota Pekalongan.Untuk tenun batik, peluang pemasaran ke resort-resort berkonsep tradisional sangat terbuka sedemikian halnya peluang untuk mengisi bahan-bahan arsitektural di negara-negara maju. Konsep go green yang dianut oleh negara-negara maju memberikan peluang yang besar untuk produk-produk tenun serat alami.

Produk tenun ATBM dengan inovasi serat alami.
Bahan alami tenun ATBM dari Tenun Ridaka
Berdialog dengan eksportir batik yang telah berpengalaman akan memberikan bahan informasi yang penting bagi bahan promosi kami. Salah satunya adalah dengan Batik Tobal yang telah kami kenal cukup lama. Ternyata kondisi krisis dunia juga dirasakan dalam perdagagan ekspor produk batik Indonesia, sementara persaingan di dalam negeri juga semakin ketat. Para produsen batik dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif agar tetap bisa eksis dan bertahan.

Pemanfaatan teknologi informasi dalam pemasaran dan promosi sudah saatnya dipahami oleh para produsen batik, seperti sebuah brand batik baru di Pekalongan yaitu Dian Pelangi. Selain itu banyak produsen batik yang tidak mengusung konsep-konsep differensiasi yang jelas sehingga mereka cenderung bersaing frontal dengan sesama produsen.

Tas Batik bisa menjadi daya tarik produk batik

Batik, kualitas harus menjadi standarisasi produk.

Batik bukan sekedar fashion,, melainkan sebuah kultur.
 
Produsen batik pun harus menyadari bahwa menjual batik bukanlah menjual produk, melainkan menjual sebuah "nilai budaya" yang telah mengakar dalam masyarakat kota Solo dan Pekalongan ini. Batik bukanlah sekedar bisnis yang bisa dipelajari dengan pelatihan dan keahlian produksi batik melainkan kemampuan produsen dalam menyampaikan pesan nilai-nilai budaya.

Pemerintah harus memahami hal ini dengan baik, bukan justru ingin melestarikan batik dengan melakukan instruksi dan pelatihan batik di semua kota dan kabupaten di Jawa Tengah, bahkan pada daerah yang tidak punya akar budaya batik sama sekali. Bahkan beberapa UMKM batik yang pernah saya temui lebih sering menganggap batik adalah sekedar bisnis, bukan sebuah gerakan bagaimana mencintai produk yang merupakan akar budaya asli Jawa Tengah.

Dengan tidak memahami esensi dari bisnis batik, maka promosi dan perlakuan promosi produk batik pun seolah dianggap sebagai sebuah komoditas textile dan fashion. Bukan, batik lebih dari sekedar komoditas dan fashion melainkan sebuah kebanggaan. Meletakkan tanggung jawab promosi dan pemasaran batik melalui delegasi pelaku UMKM yang tidak memahami esensi bisnis batik justru akan menjadi kontra produktif, karena mereka baru di level "menjual produk" bukan menjual "nilai budaya". Para pemerintah daerah dan promosi hasu mulai mengevaluasi hal ini, agar batik tetap menjadi kebanggaan Jawa Tengah.

Pilihkan delegasi batik dari kalangan seniman batik dari daerah yang akar budaya batiknya di Jawa Tengah kuat, seperti dari Solo dan Pekalongan, sehingga mereka mampu berbicara nilai-nilai batik dan filosofinya. Nilai inilah yang sebenarnya ingin "dibeli" oleh masyarakat dari negara-negara maju, bukan sekedar produk batiknya.

Brand batik ada pada nilai budayanya, bukan sekedar merk yang melekat pada produknya. Mari pahami hal ini dengan bijaksana agar batik tetap menjadi produk yang membanggakan.




 






Komentar