Haruskah Budaya "Mremo" Dipelihara ?

Haruskah Budaya "Mremo" Dipelihara?
Setiap menghadapi lebaran, saya sering melihat adanya praktek mremo dari beberapa pengusaha kuliner. Mremo sendiri adalah istilah dalam bahasa Jawa yang bisa diartikan sebagai aji mumpung. Aji mumpung yang dilakukan oleh beberapa pengusaha kuliner dan beberapa pengusaha yang lain.

Apakah budaya ini perlu dipelihara ? Apakah tidak sayang dengan reputasi usaha yang telah dirintisnya beberapa lama ?

Tapi memang prakteknya adalah demikian. Apakah karena selama ini usahanya hanya ramai saat menjelang atau pada saat lebaran ? 

Pada saat menjelang lebaran kemarin, saya mendapati beberapa pelaku "mremo" di daerah sekitar kami. Biasaya kami belanja produk makanan serupa dengan harga tidak lebih dari Rp 50 ribu, tetapi saat akan saya bayar si pemilik usaha menyatakan bahwa lebaran ini harganya menjadi hampir Rp 100 ribu. Wow ! Apakah hal ini akan menolong nasib usaha dalam jangka panjang ?

Yang bakalan terjadi adalah bahwa konsumen akan kecewa dengan tindakan jangka pendek dari pelaku usaha ini Demikian halnya dengan saya, yang dalam hati tidak akan akan mendatangi rumah makan ini lagi. Kapok dengan dengan sikap mental yang demikian ini.

Mremo tidak terjadi di Rumah Makan Menengah dan Besar.

Memang benar budaya ini banyak dilakukan oleh para pengusaha menengah dan besar, karena mereka telah memiliki pemahaman bahwa budaya ini akan menghancurkan nama besar usahanya. Dan saya telah membuktikan ketika lebaran makan di restauran yang lebih besar, harga tetap sama.

Harus disadari oleh para pelaku "mremo" bahwa saat lebaran atau sekitar lebaran, mereka telah diuntungkan dengan "kuantitas" penjualan dan hal itu harus mereka syukuri dengan memberikan pelayanan dan cita rasa makanan yang berkesan bagi pelanggannya agar mereka mau bercerita kepada kerabat-kerabatnya sebagai wujud dari promosi yang kita lakukan. Saat lebaran merupakan kesempatan emas dalam melakukan promosi langsung, yaitu dengan memberikan "pengalaman" yang berkesan atas produk dan layanan dari rumah makan.

Saya menulis ini sebagai wujud keprihatinan saya atas pola pikir dan sikap mental dari para pemilik usaha yang masih seperti demikian. Mereka hanya melihat bisnis dalam rentang waktu sesaat, bukan sebagai usaha yang akan terus berkembang dalam jangka panjang.

Memberikan pengalaman "kecewa" kepada pelanggan dalam sisi harga merupakan sebuah tindakan yang sangat merugikan para pelanggan, belum lagi layanan dan cita rasa dari rumah makan yang benar-benar tidak diperhatikan. Cerita kecewa ini pasti akan menjadi bumerang bagi pemilik usaha, karena akan memicu "imbauan" negatig untuk tidak mencoba rumah makan tersebut.

Belum lagi efek dari sosial media yang demikian dahsyatnya, sekali kita memberikan pengalaman kecewa dan pengalaman tersebut dibagikan kepada publik di sosial media maka bisa dibayangkan berapa banyak orang akan tahu tindakan dari rumah makan tersebut kepada pelanggannya. Sebuah investasi usaha yang akan menjadi sia-sia hanya karena kekonyolan yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan sesaat.

Semoga tulisan ini bisa sedikit menyadarkan beberapa pelaku usaha yang masih melakukan tindakan mremo inil. Sayangilah investasi dan jerih payah usaha anda sendiri !










Komentar