Bulu Mata Purbalingga Menyihir Dunia

Proses Pembuatan Bulu Mata di Salah Satu Pabrik di Kabupaten Purbalingga.

Oleh: Sri Rejeki & Gregorius Magnus Finesso

KOMPAS.com - Tak ada yang menyangkal lentik bulu mata bintang pop dunia seperti Madonna dan Katy Perry telah menyihir dunia. Begitu juga mata Olga Lydia dan gadis-gadis Cherrybelle. Kelentikan itu diproduksi di kota kecil Purbalingga, Jawa Tengah.

Bulu mata palsu, bagi presenter Olga Lydia, merupakan elemen penting penampilan. Tanpa bulu mata palsu, dia merasa ada sesuatu yang kurang. Olga mengenal bulu mata palsu sejak terjun ke dunia model. Bagi dia, bulu mata palsu membantu meminimalkan kekurangannya. ”Bulu mata saya, kan, kurang banyak, jadi harus dibantu dengan menggunakan bulu mata palsu,” ujarnya.

Meski begitu, tidak mudah menemukan bulu mata palsu yang sesuai dengan keinginannya. Beberapa syarat bulu mata yang pas bagi Olga adalah ringan, nyaman dipakai, dan dapat digunakan dalam setiap kesempatan, baik siang maupun malam.

”Kadang memakai bulu mata palsu bisa membuat mata merah. Apalagi kadang ada yang sampai harus didobel-dobel segala pakainya, jadinya berat. Akibatnya, mata menjadi merah,” kata Olga.

Bulu mata palsu yang seperti itu sangat dihindari oleh Olga. Sebab, meski memakai bulu mata palsu, dia ingin tetap dapat membaca buku dengan durasi yang cukup lama. ”Kalau bulu matanya berat, mau berlama-lama membaca jadi susah,” ujar Olga.

Begitu pula bagi presenter televisi Hilyani Hidranto, bulu mata merupakan elemen penting penampilan, terutama saat dia muncul di layar kaca. ”Bulu mata saya sudah cukup panjang, sih. Namun, jika untuk keperluan shooting, tetap perlu memakai bulu mata palsu. Jadi, kelihatannya lebih ngoook gitu. Maksudnya, lebih kelihatan di kamera,” ujar Pemenang Wajah Femina tahun 2007 ini seraya terkekeh.

Menghidupi rakyat

Bulu mata palsu menghidupi ribuan warga Purbalingga. Salah satunya adalah Khotik (36). Ini adalah pekerjaan yang rumit. Saat ditemui Kompas, Kothik sedang mencabut tiga helai rambut dari kumpulan potongan rambut yang terbungkus kertas. Ia lalu menekuk ketiga helai rambut itu dan memegangnya dengan tangan kiri. Dengan bantuan alat di tangan kanannya, rambut itu dipasang pada seutas benang yang ujung-ujungnya terikat dengan paku. Dengan gerakan sigap, ketiga helai rambut itu sudah terikat dalam satu simpul di benang tersebut.

Gerakan-gerakan ini ia ulangi sambil mengatur jarak antarsimpul. Dalam jarak 1 sentimeter (cm), ia harus memasang 30 simpul rambut di benang. Total ia harus memenuhi jarak 3,3 cm dengan simpul-simpul rambut sebagai cikal bakal bulu mata. Pekerjaan yang terkesan sederhana, tetapi sebenarnya tidak mudah dilakukan, terutama bagi pekerja baru.

Ini baru satu tahap. Ada lebih dari 10 tahapan untuk membuat sepasang bulu mata, mulai dari membersihkan rambut, menyortir, mewarnai, menautkan, memotong, melentikkan, membentuk, hingga mengepak. Sebagian besar dikerjakan oleh perempuan, baik di pabrik maupun rumah-rumah dalam konsep plasma yang tersebar di Purbalingga.

Siti (45), warga Desa Limbangan, Kecamatan Kutasari, kebagian pekerjaan menggunting bakal bulu mata. Simpul-simpul yang telah tersusun kemudian dibentuk dengan cara menggunting satu demi satu helai rambut. Misalnya, jika dalam satu simpul terdiri atas lima helai, Siti akan menggunting helai pertama
dan kelima seperempat helai teratas yang panjangnya 1 cm. Helai kedua dan kelima dipotong
separuhnya. Helai ketiga dibiarkan. Ada ratusan model dan bentuk dalam dunia bulu mata palsu.
Upah

Khotik, yang tinggal di Desa Pengadegan, Kecamatan Pengadegan, mendapat upah Rp 333 untuk setiap bulu mata yang dibuatnya, sementara Siti menerima upah Rp 285 per buah. Ini jika pekerjaan keduanya dianggap sempurna. Jika tidak, bulu mata harus diperbaiki atau mereka tidak dibayar.

Jika tingkat kesulitan lebih tinggi, pekerjaannya dihargai sedikit lebih mahal. Namun, bukan berarti keduanya lalu giat mengejar setoran. ”Kalau dulu bisa kerja sampai pukul 22.00, sekarang mblenger, empat jam juga sudah berhenti,” kata Khotik yang mulai membuat bulu mata sejak 18 tahun lalu.

Ada ribuan perempuan lain di Purbalingga yang menggerakkan roda usaha bulu mata, baik skala rumahan maupun pabrik. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Purbalingga mencatat, ada 33 industri bulu mata palsu di Purbalingga dengan 18 industri di antaranya adalah usaha penanaman modal asing. Ini ditambah ratusan plasma yang bekerja sama dengan industri besar. Tidak kurang 50.000 tenaga kerja lokal terserap ke sektor ini.

”Bicara bulu mata, hampir semua yang beredar di Amerika Serikat, Eropa, hingga Afrika berasal dari Purbalingga meski kemudian diberi merek oleh perusahaan rekanan di sana,” ujar Audrie Sukoco, Presiden Direktur PT Bintang Mas Triyasa (BMT), pabrik bulu mata di Kelurahan Mewek, Kecamatan Purbalingga.

Tidak heran jika produk bulu mata tiruan dari Purbalingga tidak hanya dipakai selebritas Indonesia, tetapi juga artis-artis Hollywood, mulai dari generasi Madonna hingga Katy Perry. Artis yang terakhir ini menggunakan produk Eyelure, varian produk PT Royal Korindah, perusahaan bulu mata tertua di Purbalingga.

Banyak produsen kecantikan dunia juga menggunakan produk yang dihasilkan tangan-tangan cekatan perempuan Purbalingga, di antaranya L’OrĂ©al, Shu Uemura, MAC, Kiss, Make Up For Ever, dan Maybelline. Industri bulu mata di Purbalingga disebut-sebut hanya kalah besar dari industri sejenis di Guangzhou, Tiongkok.

Namun, untuk bulu mata berbahan baku rambut manusia, menurut sepengetahuan pemilik pabrik bulu mata PT Shinhan Creatindo, Yuni Susanawati, produk jenis itu hanya dihasilkan oleh Indonesia. Tiongkok hanya memproduksi bulu mata tiruan sintetis. Demikian pula produsen lain seperti Vietnam.

Dalam sebulan, rata-rata

10 juta pasang bulu mata tiruan dari Purbalingga dikirim ke seluruh penjuru dunia, seperti tercatat pada 2010. Nilai ekspornya pada tahun itu mencapai
Rp 851,01 miliar. Kebutuhan pasar luar negeri sangat besar karena penggunaan bulu mata di sana menjadi kebutuhan sehari-hari.

Sayangnya, di dalam negeri pasar bulu mata belum begitu berkembang. Ini salah satu alasan BMT membangun merek sendiri dan menggandeng sejumlah artis terkemuka sebagai duta produknya, seperti Olga Lidya, Syahrini, dan Cherrybelle. Mereka ingin mengedukasi masyarakat tentang penggunaan bulu mata. Meski demikian, pendapatan utama BMT masih berasal dari ekspor ke sejumlah negara yang mencapai satu juta pasang per bulan. Semuanya dalam kemasan tanpa merek. Hal itu dilakukan hampir semua perusahaan lain.
Industri

Industri bulu mata mulai muncul di Purbalingga dengan kehadiran PT Royal Korindah (dulu Royal Kenny) pada 1967. Sang pemilik usaha, Hyung Sang Lee, memindahkan usaha bulu mata dari negaranya, Korea Selatan (Korsel), karena semakin ketatnya persaingan dan sulitnya mencari tenaga terampil.

Kesuksesan Royal Korindah diikuti berdirinya pabrik-pabrik baru yang dimiliki pengusaha Korsel lainnya. Pendirian itu mengajak mitra yang di kemudian hari membuka usaha sendiri. Pada tahun 2000-an, perusahaan lokal mulai berdiri.

”Pada tahun 1970-an, Purbalingga sudah dikenal dengan kerajinan berbahan baku rambut, seperti rambut sanggul. Selain itu, orang di sini juga dikenal tekun, sabar, teliti, dan terampil,” kata Budi Wibowo (54), pengusaha bulu mata lokal.

Uniknya, meski bulu mata palsu Purbalingga telah mendunia, para perempuan pembuatnya belum tentu ikut memakainya. Bahkan, tidak sedikit yang tidak mengetahui wujud jadi bulu mata tiruan. ”Jangankan pakai bulu mata palsu, lihat jadinya saja belum pernah,” kata Khotik terkikik. (DOE)

Komentar