Sepenggal Cerita Tentang Pembinaan UMKM Oleh Institusi Pendidikan



Luar biasanya demam kewirausahaan di lingkup institusi pendidikan baik di tingkat Sekolah Menengah Atas sampai dengan tingkat Universittas memberikan sebuah kebanggaan bagi kami, bahwa semua komponen saat ini telah tergerak untuk menyadari betapa pentingnya membangun semangat kewirausahaan. 

Yang akan kita ambil dari semangat ini adalah semangat kemandirian, semangat kreatif dan inovatif dan semangat bersaingnya. Dimana semangat tersebut tidak hanya dibutuhkan ketika kita sudah memilih jalan hidup sebagai wirausaha, tetapi juga dibutuhkan juga oleh pegawai dan karyawan untuk kinerja yang lebih baik.

Jangan berhenti di pemberian motivasi, harus berlanjut ke START UP.

Bincang-bincang kami hari ini dengan salah satu instuti pendidikan besar di Semarang adalah mengenai kelanjutan program motivasi kewirausahaan, apakah akan dikawal sampai menjadi start up atau cukup sekedar memiliki motivasi saja ?

Ternyata mereka telah menyiapkan program inkubator bisnis di perguruan tingginya, dan saat ini sedang digodok pelaksanaannya. Hal sempitnya lapangan pekerjaan di masa mendatang sudah menjadi kepedulian dari setiap perguruan tinggi untuk memberikan pembekalan kewirausahaan yang cukup kepada lulusannya untuk memiliki pilihan lain selain bekerja menjadi karyawan. Dan saat ini hampir semua univesitas besar telah memiliki program inkubator bisnis.

Mentoknya Program, Setelah Start Up Terus Bagaimana ?

Pembicaraan menjadi lebih menarik ketika kami bertanya program apa yang dirancang untuk mendampingi para start up bisnis ini, karena start up ini ibarat balita yang masih butuh bimbingan dan pemdampingan yang intensif karena masih rawan "jatuh". Menariknya adalah karena keterbatasan masa pendidikan, dan sepertinya tugas dari instusi pendidikan tersebut hanya mengantar mahasiswa sebagai start up saja.

Rapuhnya para start up ini adalah di maintain mindset dan sikap mental kewirausahaannya yang belum matang, pemasaran dan modal. Permasalahan dan pembelajaran kewirausahaan yang sebenarnya adalah ketika si pelaku sudah "mulai" usaha, bukan ketika akan memulai usaha. Memulai usaha bisa cukup dengan modal "berani ambil resiko" tetapi ketika sudah mulai usaha makan modal yang dibutuhkan jadi lebih banyak lagi antara lain modal "kemampuan", kreativitas dan inovasi untuk bertahan menghadapi persaingan. Mereka butuh kesabaran, keuletan, fokus, komitmen dan mental pantang menyerah ketika menghadapi masa "awal" usaha yang penuh kerja keras.

Institusi pendidikan harus bermitra dengan dinas terkait atau asosiasi usaha yang melakukan pembinaan tahap selanjutnya agar bibit-bibit wirausaha yang telah disemainya bisa berlanjut dan mampu melewati masa-masa rawan ketika masih balita.

Program Bakti Perguruan Tinggi Kepada Masyarakat

Perguruan tinggi dalam baktinya kepada masyarakat juga melakukan pemberdayaan potensi masyarakat untuk peningkatan ekonomi melalui upaya peningkatan ekonomi keluarga dengan melakukan usaha kecil. Sayangnya ketika mencoba memberdayakan potensi daerah rekan-rekan mahasiswa pelaku bakti masyarakat melupakan aspek "kebutuhan pasar", sehingga ketika produk dari masyarakat bisa direasliasikan maka kendala pasar menjadi kendala berkembangnya usaha kecil tersebut dan pada akhirnya program tersebut tidak berkelanjutan. 

Program-program pembinaan usaha kecil banyak dilakukan oleh berbagai pihak secara parsial tanpa terintegrasi dengan pihak-pihak yang juga melakukan kegiatan yang sama, sehingga hasilnya tidak maksimal. Setiap pihak bekerja sendiri-sendiri dengan ego masing-masing, sehingga banyak daya dan dana yang terhambur tanpa hasil yang memuaskan.

Seharusnya program-program seperti ini bisa saling dikoordinasikan dengan pihak-pihak lain untuk memberikan impact kegiatan yang lebih besar dan berkelanjutan. Bukankah program kerja itu harus berefek bola salju ?





Komentar