Sangat Unik, Cafe Angkringan Tiga Tjeret di Solo

Lokasi Cafe Tiga Tjeret ini tidak jauh dari Pasar Triwindu, dan memang sangat strategis untuk nongkrong karena memang malamnya di Jl Diponegoro ini merupakan pasar malam. Penataan dan konsep Cafe ini pun membuai hati orang untuk menikmati suasana cafe modern (urban) tetapi dengan budget angkringan.

Mungkin tulisan dari salah satu media online ini memberikan motivasi dan inspirasi bagi rekan-rekan yang sedang merancang bisnis untuk masa depannya.

Malam begini baru seru, Cafe Tiga Tjeret dari depan.
Menunya menu angkringan, pelanggan silahkan pilih sesukanya.
Biar angkringan tapi tongkorngannya keren.
 
Nah Loh ! Hampir selalu ramai seperti ini.
Masih ingat menu HIK (Hidangan Istimewa Kampung) jama dulu ?

Bisnis.com, JAKARTA - Sudah bukan rahasia bahwa Indonesia sangat kaya dengan kuliner. Beragam makanan dan minuman unik dengan cita rasa tinggi hampir dapat ditemukan di setiap daerah di Tanah Air.

Namun, pamornya malah semakin meredup di kehidupan masyarakat Indonesia sendiri seiring dengan banyaknya gempuran jenis makanan dari luar negeri. Untuk itu, beberapa orang mulai peduli dan mengangkat kembali makanan tradisional agar tetap lestari dengan memperkenalkannya pada masyarakar luas dengan konsep yang berbeda. Dengan kemasan dan strategi pemasaran yang modern, masyarakat pun mulai tertarik untuk kembali menikmati warisan kuliner leluhur.

Selain memiliki misi kebudayaan, usaha untuk mengangkat citra makanan tradisional juga menjadi peluang usaha yang menguntungkan. Omzet yang dapat dikantongi bahkan bisa mencapai puluhan juta setiap harinya.

Salah satu pelaku usaha yang mengemas makanan dan minuman tradisional secara modern adalah Andhang Apri Hardhanto. Dengan Cafe Tiga Tjeret, dia mampu mengangkat pamor wedangan hidangan istimewa kampung (HIK) ala Solo menjadi lebih berkelas.

Andhang membuat kafe bersuasana urban yang menyajikan makanan dan minuman yang biasa dijajakan di wedangan di pinggir jalan. Namun, menu yang ditawarkannya tersebut diklaim sudah melalui proses quality control yang memastikan makanan dan minuman bercitarasa nikmat sekaligus higienis.
Ide untuk membuat kafe tersebut berawal keprihatinannya terhadap eksistensi makanan tradisional asli Indonesia di kalangan generasi muda. Dia melihat, anaknya sendiri lebih mengenal makanan-makanan tradisional luar negeri dibandingkan dengan makanan Jawa. "Anak saya lebih hapal sushi, onigiri dibandingkan rawon," katanya.

Kemudian pada saat reuni dengan rekan almamater SMA-nya, ide untuk membuat wedangan berkonsep kafe dicetuskan, dan didukung oleh rekan-rekannya yang sekarang juga menjadi pengelola kafe yang berada di kawasan Jl Ronggowarsito, Mangkunegaran, Solo itu.

Modal yang dikucurkannya saat itu lebih dari Rp500 juta, yang digunakan untuk menyewa lahan, membuat bangunan semi permanen tiga lantai, dan melengkapi dekorasi dan perlengkapan interior. Setelah pembangunan yang menghabiskan waktu beberapa bulan selesai, pada akhir 2012 kafe tersebut mulai beroperasi.

Pria dengan latar belakang desain interior tersebut tahu betul bagaimana menciptakan kafe tradisional dengan suasana yang nyaman bagi semua kalangan. Cafe Tiga Tjeret kemudian dibagi menjadi beberapa bagian, mulai dari kafe bar dan kafe garden yang biasanya diisi oleh konsumen keluarga, hingga meja dan kursi di lantai atas yang dilengkapi banyak colokan listrik dan wi-fi yang biasa dinikmati para anak muda.

Dia juga sengaja memilih produk interior dari bahan-bahan daur ulang, selain terlihat tidak kaku, biayanya pun dinilai lebih bersahabat. “Itu sebagai win-win solution karena keterbatasan dana awal yang dimiliki,” katanya.

Sementara itu, untuk setiap makanan seperti sate telur puyuh, sate kikil, sate usus, goreng-gorengan dan makanan lainnya dipasok dari masyarakat sekitar yang telah bekerja sama dengan manajemen Cafe Tiga Tjeret dengan konsep konsinyasi, sedangkan menu minuman diolah khusus oleh para pegawai.
Adhang mengatakan, saat ini ada lebih dari 100 jenis makanan yang ditawarkan, dengan pasokan sekitar 10-40 porsi. Selain itu, pengelola juga menyiapakan makanan bar selain menu wedangan yang biasanya disajikan pada pukul 22.00 WIB ke atas, setelah stok makanan menipis.

“Kami juga menyetok makanan wedangan setengah jadi yang didinginkan, sehingga jika memang diperlukan karena permintaan yang besar, kami tinggal memanaskannya,” katanya.

Saat ini, Cafe Tiga Tjeret yang berkapasitas sekitar 300 orang itu dikunjungi tak kurang dari 500 orang tiap harinya, bahkan mencapai angka 1.000 orang setiap akhir pekan di awal bulan. Sementara itu, tiap pengunjung rata-rata membelanjakan uangnya sekitar Rp20.000.

“Omzetnya bisa mencapai Rp20 juta per hari, dan investasi awal yang ditanamkan sudah bisa balik modal dalam 10 bulan pertama Cafe Tiga Tjeret beroperasi,” katanya.

Membeludaknya jumlah pengunjung tersebut diakui Andhang tak lepas dari strategi promosi yang dia lakukan. Pada dua bulan pertama pembukaan, dia menghadirkan seorang chef profesional yang tengah naik daun sebagai food tester, sehingga banyak orang yang penasaran dan mulai mencoba setiap hidangan di kafenya.

Setali tiga uang, popularitas kafe tersebut juga semakin membumbung karena liputan media massa yang mengangkat bisnisnya hampir secara terus menerus. “Akhirnya banyak orang yang mengetahui tentang Cafe Tiga Tjeret karena mendapatkan referensi dari media,” imbuhnya.

Di sisi lain, Cafe Tiga Tjeret juga menyediakan ruang kreatif bagi komunitas yang ingin melaksanakan kegiatan di tempat tersebut. Hampir setiap pekan rutin dilaksanakan pameran karya seni, pemutaran film dan diskusi. Dengan pendekatan melalui komunitas-komunitas, Andhan menilai hal itu juga sebagai strategi yang efektif untuk menciptakan lebih banyak pelanggan.

Ke depannya, Andhan ingin agar pamor makanan tradisional secara modern ini bisa lebih terangkat secara luas, di awali dengan menyasar pasar Jawa Tengah, dia pun ingin segera masuk ke pasar Ibu Kota.

“Konsepnya ‘desa mengepung kota’, jadi kami kuatkan dulu brand-nya di skala regional, baru nanti masuk ke pusat. Saya sudah punya roadmap dan konsep untuk pengembangan ke depannya,” paparnya.

Dengan ide yang diusungnya tersebut, Andhang berharap makanan-makanan tradisional bisa bersaing dengan makanan-makanan siap saji yang saat sangat mudah ditemukan di berbagai tempat. “Saya optimistis bisnis akan terus berkembang seiring dengan kepedulian masyarakat yang mulai muncul,” katanya.

Ide-ide semacam ini semoga memberikan "penyegaran" bagi rekan-rekan yang sedang mempersiapkan konsep-konsep usaha kuliner. Yang harus perhatikan bahwa bisnis kuliner adalah bisnis cita rasa, jadi rasa harus mendapatkan porsi utama dalam perencanaannya sebagaimana tulisan saya sebelumnya.

Ya inilah makanan rakyat yang mulai dari kalangan bawah sampai kalangan atas pun mau berdesakan mengantrinya.

Komentar