Sadarkah Kita Bahwa Sekarang Kita Dalam Kondisi Krisis Ekonomi ?

Meskipun Tidak Mengetahui, Tapi Tapi Sudah Merasakan 


Benarkah saat ini Indonesia mengalami krisis ? Ya, saat ini negara kita memang dalam kondisi kesulitan ekonomi yang cukup parah. Krisis sumber daya energi dan krisis bahan bakar minyak memicu kenaikan semua harga. Kenaikan nilai tukar dolar terhadap rupiah juga memicu berbagai kesulitan dalam bisnis seperti kenaikan bahan bakar minyak yang merupakan fundamental struktur biaya produksi di dalam negeri, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga semua kebutuhan pokok dan sebagainya.

Industri besar sudah merasakan dampaknya, dan saat ini mereka berjuang untuk bertahan dari terpaan kenaikan semua komponen biaya, bahkan lebih hebatnya adalah tuntutan buruh untuk kenaikan UMR/UMK yang semakin memberatkan dan belum lagi gencarnya dinas pajak memburu kenaikan pendapatan dari sektor pajak. Lengkap sudah penderitaan pengusaha di Indonesia ini !

Dampak yang luar biasa ini pun pasti dirasakan oleh pelaku UMKM di Indonesia. Di wilayah Jawa Tengah yang kami pantau, banyak keluhan dari para UMKM atas kenaikan bahan baku, TDL, BBM dan kenaikan upah pekerja. Terpaksa harga jual pun merangkak naik, lagi dan lagi.

Bagaimana Daya Saing Kita Jika Harga Jual Sangat Tinggi ?

Saat ini memang sulit untuk berbicara masalah daya saing, pelaku UMKM pasti sibuk untuk bisa menebus bahan baku dan komponen produksi lain yang lebih pokok. Yang penting bagi mereka adalah harga beli masih lebih rendah dari harga jual, atau dengan arti lain mereka masih untung.

Tanpa disadari oleh para pelaku UMKM bahwa daya beli masyarakat kita saat ini pelan-pelan mulai menurun, sehingga penyerapan produk UMKM di pasar domestik juga mengalami penurunan. Pelan tapi pasti ini yang mulai dirasakan oleh UMKM di Jawa Tengah.

Produksi Tempe Pun Semakin Sulit Karena Bahan Bakunya Impor

Bagaimana Mempertahankan Produksi Tempe Dalam Negeri ?

Kapan Kita Akan Swasembada Kedelai ?
Untungnya, usaha skala UMKM memang memiliki fleksibilatas tinggi dan tahan terhadap hembusan krisis. Mereka lebih mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat, karena tidak dibelenggu oleh aturan manajemen yang rumit dan prosedural dan mereka lebih cepat mengambil keputusan karena pelaku biasanya juga pengambil keputusan itu sendiri.

Tapi ketika dihadapkan bahwa pasar mulai tidak mampu menyerap produk dan kran persaingan global sudah mulai dibuka, apakah teman-teman pelaku UMKM di Jawa Tengah ini tidak akan mengalami kondisi yang lebih sulit ? Sebenarnya bukan MEA yang ditakuti mereka, bahkan mereka pun tidak peduli apa itu MEA. Yang mereka takutkan adalah bahwa mereka tidak mampu lagi membeli bahan baku, tidak mampu lagi bayar listrik dan BBM.

Belum lagi pajak 1% dari omzet yang benar-benar tidak "cocok" untuk kondisi UMKM dalam masa krisis ini. Pajak 1% ini perhitungannya tidak obyektif melihat berapa untungnya UMKM yang semakin lama semakin tipis didera kenaikan semua komponen biaya. Mengapa harus omzet yang menjadi acuannyanya, bagaimana kami profit marginnya cuma tipis ? Apakah keuntungan UMKM tidak akan tergerus oleh pajak ?

Dalam Krisis, Bidang Usaha Apa yang Harus Diprioritaskan ?

Perut kenyang hati senang, istilah sederhana ini mungkin bisa membantu memberikan solusi. Kita mesti memprioritaskan produk pangan dan mengutamakan ketahanan pangan nasional, baik bahan pangan pokok maupun bahan pangan pendukung.

Beras kita impor, kedelai kita impor, raw sugar kita impor dan sebagainya kita masih banyak yang impor. Bagaimana mau swasembada pangan ? Bukankah Indonesia itu negara yang luas dan subur ? Mengapa bisa terjadi demikian ? Apakah ini akibat keserakahan politik atau manipulasi kesejahteraan rakyat ?

Mari kita mulai dengan mulai mengkonsumsi produk dalam negeri, makan beras lokal, minum gula alami (bukan rafinasi) dan sebagainya. Tingkatkan hasil pertanian dan perkebunan, tingkat UMKM pengolah makanan untuk lebih kreatif dan inovatif.

Biarlah krisis datang, yang penting kita siap berjuang !





Komentar