No Prospect, No Sample.

No Prospect, No Sample.
Keluhan dari para pelaku UMKM terhadap kebijakan sampel produk adalah telah banyak sampel yang mereka berikan kepada customer namun tidak mendongkrak penjualan produknya. Mengapa? 

Yang pasti salah satunya adalah sampel tersebut tidak diberikan kepada customer yang tepat karena kita sendiri tidak memahami siapa customer kita. Masih sering para pelaku UMKM melihat gambaran pasar secara umum, misalnya produk makanan pasti bisa dinikmati oleh semua orang. Mereka belum bisa membedakan bahwa mereka produsen dan pasarnya adalah pasar bisnis bukan pasar konsumsi (retail), kecuali mereka membuka toko sendiri.

Kami selalu mengingatkan para pelaku UMKM (produsen) untuk fokus kepada pasar bisnis, seperti reseller, agen maupun distributor. Fokus mereka adalah produksi dan mereka butuh kapasitas penyerapan produk yang lebih besar dengan konsentrasi pasar yang lebih sedikit jika dibandingkan harus bersentuhan langsung dengan konsumen akhir (retail). Namun dukungannya kepada mitra (reseller, agen dan distributor), mereka harus melakukan promosi dan pengenalan brand mereka kepada pasar akhir.

No Prospek, No Sample.

Pada akhirnya promosi yang telah kita lakukan secara konsisten bertahun-tahun akan membawa kita pada persepsi yang baik di pasar. Brand kita mulai dikenal, dan produk kita sudah mulai dipercaya oleh pasar. Pada posisi ini bisa dikatakan produk kita telah memiliki bargaining power

Pada saat itu pula kita mulai menyadari bahwa biaya sampel produk yang telah kita keluarkan untuk promosi sangatlah besar, meskipun perhitungannya sudah kita masukkan dalam harga pokok produksi namun di level UMKM biasanya perhitungan HPP atas sampel sering meleset. Itulah pengorbanan yang harus dilakukan dalam memperkenalkan produk baru di pasar yang baru.

Biaya sampel yang besar menuntut kita untuk berlaku efisien, apalagi setelah kita mulai mengenal pasar kita dengan lebih baik. Kita harus mulai selektif dalam memberikan sampel kepada konsumen, bukan berarti pelit melainkan lebih selektif. Sampel diberikan dengan tujuan membangun bukti bahwa produk kita baik dan cocok untuk konsumen kita, bukan sekedar sebagai hadiah.

Kesulitan dari para pelaku UMKM adalah membangun komunikasi yang konstruktif terhadap prospek customernya, apakah dari pasar bisnis atau pasar konsumsi harus dipahami sejak awal. Langsung bermain dengan pasar konsumsi adalah sah-sah saja, namun akan berkonsekwensi pada pertumbuhan bisnis yang lebih lamban, kecuali jika mereka memiliki outlet penjualan sendiri yang mau tidak mau harus bersentuhan dengan konsumen akhir.

Ketika kita telah menetapkan target pasar kita adalah pasar bisnis, misalnya resto dan cafe, maka kita akan terbantu dengan mengurangi konsentrasi sampel produk pada pasar retail. Misalnya: kami akan menolak permintaan sampel dari agen dan reseller yang akan bermain di pasar retail, kecuali mereka bisa memberikan prospek dan proyeksi penjualannya kepada kami atau mereka harus membeli "produk" sebagai sampel yang mereka butuhkan.

No prospek, no sample - Tidak ada prospek tidak ada sampel. Mungkin akan terdengar sedikit kurang enak, namun hal ini perlu dilakukan mengingat biaya sampel yang telah dikeluarkan sangatlah besar, bisa ratusan juta dalam setahun dan biaya itu harus kembali sebagai investasi. Sebaliknya, kami tidak akan segan-segan memberikan sampel dalam jumlah besar manakala kami melihat prospek dan proyeksi bisnis yang bagus dari target pasar yang berupa resto dan cafe, karena inilah target pasar kita.

Kadang memang ada "pasar khusus" yang sementara ini tidak kita ketahui, namun selama mereka tidak mampu menyajikan gambaran prospek dan proyeksi bisnis yang realistis kita tetap akan melakukan seleksi terhadap pemberian sampel produk.

Kesimpulan: Sampel produk adalah investasi terhadap pasar, dan investasi harus kembali sebagai pesanan. Jika investasi tidak terukur maka perencanaan penjualan kita juga akan bias, kecuali jika investasi dalam sedekah yang tentunya akan dibahas di sesi yang lain. Sukses!







Komentar