UMKM Naik Kelas ? Masalah Bukan Dari Sisi UMKMnya, Tapi Kebijakannya.

Naik kelas ? Seperti inikah ?
Jika hari ini kami bertemu dengan beberapa teman yang pakar dalam bidang keuangan dan perpajakan, bukan saya ingin mencari sebuah kompromi tetapi justru saya ingin mengajukan pertanyaan yang sementara ini sulit saya jawab, yaitu: Benarkah UMKM bisa naik kelas ?

Dari sisi kami sebagai penggiat UMKM, kami harus selalu optimis bahwa UMKM bisa naik kelas, namun pastinya kami juga kami butuh pendapat dari beberapa pihak yang kadang kurang diperhitungkan oleh para penggiat UMKM. Mereka adalah pakar keuangan dan perpajakan, yang tentunya bukan dari pihak pemerintah.

Mengutip beberapa pernyataan para pakar dalam sebuah seminar bisnis, bahwa di Indonesia sangat sulit untuk mengembangkan usaha sampai pada level usaha besar menjadi wacana yang kami gunakan untuk membuka pembicaraan antara kami. Selanjutnya kecenderungan saat ini bahwa banyak usaha kecil yang stagnan atau hanya sampai pada level menengah. Dan dari wacana ini, mereka mengiyakan bahwa memang kenyataaan itu terjadi karena mereka adalah para konsultan keuangan dan perpajakan yang sudah menggeluti bidang ini selama bertahun-tahun dengan klien perusahaan kecil, menengah sampai besar.

Bahkan bukan hanya perusahaan lokal, melainkan perusahaan PMA pun terkendala di Indonesia. Kendala apakah itu? Sistem perpajakan tentunya. Padahal di sisi lain perusahaan-perusahaan berkembang ini dihadapkan pada masalah biaya produksi yang dari tahun ke tahun naik terus, mulai dari biaya listrik, BMM, upah dan sebagainya.

Pajak 1% dari omzet untuk perusahaan yang beromzet di bawah Rp 4.8M pun sebenarnya masih banyak UMKM yang mengeluhkan karena dasarnya adalah omzet bukan profit. Jika dasarnya adalah profit, maka bisa dipastikan bahwa pelaku UMKM tidak akan tergerus profitnya karena pajak, apalagi kondisinya sebagian besar pelaku UMKM belum bisa menghitung HPP dengan benar. 

Nah, ini yang penting. Untuk berkembang pelaku UMKM harus berinteraksi dengan perusahaan besar, baik industri maupun perusahaan ritail besar. Dengan berinteraksi dengan perusahaan besar, maka konsekwensi pajaknya akan mengikuti perusahaan besar, misalnya pengenaan PPN 10% atas supply mereka kepada perusahaan, yang nantinya akan menjadi PPN masukan bagi perusahaan besar. Perusahaan besar butuh PPN masukan untuk mengurangi PPN keluaran mereka. Lantas bagaimana dengan UMKM ? Jika UMKM mengeluarkan PPN keluaran, sementara mereka tidak punya PPN masukan berarti PPN dari UMKM adalah murni kena 100% dan bayangkan berapa profit yang akan mereka dapatkan ?

Belum lagi jika pembayaran dari perusahaan besar dengan sistem tempo untuk mengamankan cash flow mereka, maka nasib UMKM benar-benar tidak pernah menguntungkan dan hal inilah yang menyebabkan saya ragu dan berdiskusi dengan para pakar keuangan tersebut tentang apakah benar UMKM bisa naik kelas ?

Harus ada yang memperjuangkan hal ini, dan semoga tulisan ini bisa membantu pemerintah melakukan koreksi kebijakan pajaknya karena dampaknya juga bisa Seharusnya target hasil kenaikan ekonomi jangan disikapi sebagai target jangka pendek, melainkan target jangka panjang. Menaikkan tingkat daya beli masyarakat adalah target jangka pendeknya, biarlah ekonomi berjalan baik dengan kemampuan daya beli masyarakat yang normal dulu baru kemudian kebijakan pajak bisa disesuaikan dengan kondisi tersebut.

Menaikkan tarif pajak pun bukan merupakan solusi terbaik dalam mencapai target pendapatan dari pajak, karena ternyata pencapaiannya rata-rata tidak melebihi 60%. Justru hal ini memberikan beban pada masyarakat dan semakin menjatuhkan daya beli. Lantas bagaimana nasib pemasaran produk UMKM jika masyarakat sendiri saja tidak mampu membelinya?



 



Komentar