Beberapa di bawah ini adalah berita-berita yang memberikan gambaran posisi dan kondisi daya saing Indonesia dalam kancah global. Bukan sekadar theory belaka, karena kami di lapangan benar-benar menghadapi wujud dari "incompetitiveness" tersebut secara langsung. Bagaimana kami menghadapi berbagai masalah mengenai kualitas produk dari UMKM, ketertinggalan teknologi, ketertinggalan informasi, kesulitan akses modal, kesulitan akses pasar dan banyak lagi kendala UMKM.
Rutinitas kami dalam pembinaan UMKM di Jawa Tengah kadang memaksa kami untuk selalu berkutat dalam permasalahan rutin tersebut, dan ketika kami menengadah untuk melihat fakta yang lebih besar, kami mengetahui bahwa benar benar adanya bahwa daya saing produk kita memang masih perlu mendapatkan perhatian serius.
Berikut berita-berita dari media yang bisa kami sampaikan kepada teman-teman UMKM:
********
Berita BeritaSatu.Com Rabu 13 Januari 2016:
Daya Saing Indonesia
Isu daya saing selalu mengusik kita sebagai bangsa.
Indonesia, negeri berlimpah sumber daya alam dan sumber daya manusia,
negara yang produk domestik bruto (PDB)-nya menempati peringkat ke-16 di
dunia dan digadang-gadang bakal menempati peringkat ke-5 pada 2030,
daya saing ekonominya masih jauh dari kompetitif.
Daya saing Indonesia berdasarkan Global Competitiveness Report yang
dirilis World Economic Forum (WEF), menempati peringkat ke-37 dari 140
negara pada 2015-2016. Alih-alih naik, peringkat kita justru turun. Pada
2014-2015, Indonesia menempati urutan ke-34. Kita juga kalah dari
negara-negara tetangga. Singapura berada di peringkat ke-2, Malaysia
ke-18, dan Thailand ke-32.
Rendahnya peringkat daya saing ekonomi Indonesia di level global
harus menjadi bahan koreksi dan introspeksi segenap komponen bangsa.
Tanpa bermaksud mengecilkan berbagai upaya yang telah dilakukan
pemerintah, peringkat daya saing kita yang masih terpaut jauh dari
negara-negara tetangga adalah bukti bahwa pemerintah belum bekerja
optimal. Tentu saja pemerintah adalah pihak pertama yang harus dimintai
pertanggungjawaban. Jika mengacu pada parameter-parameter yang digunakan
WEF, lebih dari separuh daya saing ekonomi suatu bangsa ditentukan oleh
kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah amat
menentukan baik-buruknya daya saing ekonomi nasional.
Penilaian WEF mengacu pada 113 indikator yang dikelompokkan dalam 12
pilar, yaitu institusi atau birokrasi, infrastruktur, kondisi dan
situasi ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar, serta pendidikan
tingkat atas dan pelatihan. Pilar lainya adalah efisiensi pasar,
efisiensi tenaga kerja, pengembangan pasar finansial, kesiapan
teknologi, ukuran pasar, lingkungan bisnis, dan inovasi.
Harus diakui, sebagian pilar daya saing ekonomi belum ditangani
pemerintah secara sungguh-sungguh. Reformasi birokrasi, menghilangkan
hambatan dunia usaha, dan menghapus ekonomi biaya tinggi sudah lama
digembar-gemborkan pemerintah. Sama halnya dengan mempercepat
pembangunan infrastruktur, membenahi iklim tenaga kerja, dan mendorong
inovasi bisnis. Lalu, mengapa peringkat daya saing kita tetap rendah,
bahkan turun?
Jangan pernah lupa, cikal-bakal daya saing ekonomi ada di industri
manufaktur. Jika industri manufaktur kita memiliki daya saing yang kuat,
perekonomian nasional bakal berdaya saing tinggi. Maka peningkatan daya
saing ekonomi nasional harus dimulai dari industri manufaktur. Guna
mewujudkan hal itu, pemerintah harus melakukan efisiensi biaya produksi.
Biaya produksi bisa dipangkas lewat lokalisasi dan rekonsiliasi kawasan
industri dari hulu hingga hilir.
Industri manufaktur kita masih amburadul. Industri hulu, antara, dan
hilir tidak terintegrasi. Akibatnya, rantai produksi dan distribusi
sangat panjang. Biaya produksi menjadi mahal. Di Cikarang, Bekasi,
misalnya, terdapat 3.000 pabrik di tujuh kawasan industri. Mereka
mendatangkan bahan baku baja dari Cilegon dan mengekspor produk lewat
Tanjung Priok. Tidak terkoneksinya antarkawasan industri di Tanah Air
membuat kita miris, terutama saat mengaitkannya dengan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) yang baru saja berjalan. Di negara-negara lain,
seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, proses penyediaan
bahan baku, produksi, sampai ekspor terkonsentrasi di satu kawasan.
Karena efisien, produk mereka lebih kompetitif.
Kita khawatir Indonesia--negara terbesar di ASEAN -- justru menjadi tumbal MEA. Pemerintah sebaiknya juga mengubah mindset
bahwa menaikkan daya saing ekonomi atau daya saing industri tak melulu
berurusan dengan pemberian stimulus fiskal. Dunia usaha memang
membutuhkan insentif pajak, tapi insentif pajak bukan segala-galanya.
Penataan kawasan industri dan pengintegrasian sektor industri hulu,
antara, dan hilir adalah kebijakan yang tak kalah fundamental.
Kita pun perlu terus menagih janji pemerintah agar menghilangkan
hambatan dunia usaha, menghapus ekonomi biaya tinggi, membenahi iklim
tenaga kerja, dan mendorong inovasi bisnis. Tak kalah krusial,
pemerintah harus mempercepat pembangunan infrastruktur, terutama yang
menunjang kesinambungan dunia usaha. Gara-gara infrastruktur minim,
Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan biaya logistik
termahal di dunia. Lebih dari itu, kita mesti mengingatkan pemerintah
bahwa proyek-proyek infrastruktur harus dibangun berdasarkan kebutuhan
dunia usaha dalam jangka panjang, utamanya untuk mengintegrasikan
berbagai sektor industri. Tidak terkoneksinya industri hulu, antara, dan
hilir di negeri ini adalah buah dari pembangunan infrastruktur yang
instan, asal-asalan, dan sekadar mengejar pencitraan.
Berita dari Berberita.Com Senin 23 November 2015:
Peta Daya Saing Indonesia di ASEAN Menghadapi MEA
Daya saing Indonesia di ASEAN dalam menghadapi perdagangan internasional tingkat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) cukup bagus ketimbang lima negara lainnya.
Berdasarkan data yang dihimpun Berberita.com dari The Global Competitiveness Report pada tahun 2013/2014 yang dibuat World Economic Forum (WEF), Indonesia menempati peringkat ke-4 terkait dengan daya saing di ASEAN.
Data tersebut bisa jadi salah satu parameter atau tolak ukur untuk menghadapi perdagangan bebas internasional tingkat ASEAN atau MEA yang berlangsung pada tanggal 31 Desember 2015.
Lantas, urutan negara manakah yang paling maju, berpengaruh dan unggul di antara 9 negara lainnya di ASEAN? Atau negara manakah yang justru paling mundur atau menempati peringkat akhir? Berikut datanya dengan masing-masing peringkat di dunia.
Berdasarkan data yang dihimpun Berberita.com dari The Global Competitiveness Report pada tahun 2013/2014 yang dibuat World Economic Forum (WEF), Indonesia menempati peringkat ke-4 terkait dengan daya saing di ASEAN.
Data tersebut bisa jadi salah satu parameter atau tolak ukur untuk menghadapi perdagangan bebas internasional tingkat ASEAN atau MEA yang berlangsung pada tanggal 31 Desember 2015.
Lantas, urutan negara manakah yang paling maju, berpengaruh dan unggul di antara 9 negara lainnya di ASEAN? Atau negara manakah yang justru paling mundur atau menempati peringkat akhir? Berikut datanya dengan masing-masing peringkat di dunia.
Berita dari CNN Indonesia Minggu 4 Oktober 2015:
WEF: Daya Saing Indonesia Turun ke Peringkat 37 Dunia
Jakarta, CNN Indonesia
--
Peringkat daya saing ekonomi Indonesia versi World
Economic Forum (WEF) turun pada tahun ini, dari urutan ke 34 pada tahun
lalu menjadi 37 dari 140 negara.
Dalam Global Competitiveness Report 2015-2016 yang dirilis WEF, daya saing Indonesia kalah dari tiga negara tetangga, yakni Singapura yang berada di peringkat 2, Malaysia di peringkat 18 dan Thailand di urutan 32.
Di Asean, Indonesia tercatat unggul dari Filipina (47), Vietnam (56), Laos (83), Kamboja (90), dan Myanmar (131).
Peringkat daya saing Indonesia juga terlihat lebih baik dibandingkan banyak neagra di luar Asia Tenggara, antara lain dari Portugal (38), Italia (43), Rusia (45), Afrika Selatan (49), India (55), dan Brazil (75).
Dalam Global Competitiveness Report 2015-2016 yang dirilis WEF, daya saing Indonesia kalah dari tiga negara tetangga, yakni Singapura yang berada di peringkat 2, Malaysia di peringkat 18 dan Thailand di urutan 32.
Di Asean, Indonesia tercatat unggul dari Filipina (47), Vietnam (56), Laos (83), Kamboja (90), dan Myanmar (131).
Peringkat daya saing Indonesia juga terlihat lebih baik dibandingkan banyak neagra di luar Asia Tenggara, antara lain dari Portugal (38), Italia (43), Rusia (45), Afrika Selatan (49), India (55), dan Brazil (75).
Mengutip catatan Kementerian Keuangan dalam situsnya, WEF pernah
menempatkan daya saing Indonesia di urutan ke 54 pada 2009, lalu
merangkak naik menjadi ke-44 pada 2010, sebelum akhirnya turun kembali
ke urutan 46 pada 2011 dan ke-50 pada 2012.
Daya saing Indonesia kembali membaik pada 2013 menjadi urutan ke-38 dan menjadi ke-34 pada tahun lalu.
WEF
menggabungkan data kuantitatif dan survei, dimana penilaian peringkat
daya saing global ini didasarkan pada 113 indikator yang dikelompokkan
dalam 12 pilar daya saing.
Kedua belas pilar tersebut yaitu
institusi, infrastruktur, kondisi dan situasi ekonomi makro, kesehatan
dan pendidikan dasar, pendidikan tingkat atas dan pelatihan, efisiensi
pasar, efisiensi tenaga kerja, pengembangan pasar finansial, kesiapan
teknologi, ukuran pasar, lingkungan bisnis, dan inovasi.
(ags)
Berita dari Kompas.Com Rabu, 30 September 2015:
Daya Saing Indonesia Turun 3 Peringkat
JAKARTA, KOMPAs.com - Daya saing Indonesia pada tahun
2015 berada di posisi 37 dunia, atau turun 3 peringkat dibandingkan
tahun lalu. Sementara Swiss, Singapura, dan Amerika Serikat masih
menjadi penghuni 3 besar negara paling berdaya saing di dunia pada tahun
2015.
Demikian The Global Competitiveness Report 2015-2016 yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (WEF), seperti dilansir Bloomberg, Rabu (30/9/2015).
Laporan
yang dilakukan terhadap 140 negara ini, disusun berdasarkan 113
indikator yang mempengaruhi produktivitas suatu negara. Indikator
tersebut antara lain, infrastruktur, inovasi, dan lingkungan makro
ekonomi.
Indonesia berada di posisi 37 dengan nilai 4,52.
Bandingkan dengan daya saing negara ASEAN lainnya, seperti Singapura
yang berada di posisi 2 dengan nilai 5,68. Kemudian Malaysia naik dua
peringkat ke posisi 18 (5,23), dan Thailand (4,64) meski turun 1
peringkat, tetapi tetap berada di atas Indonesia dengan ada di posisi
32.
Sementara Filipina dan Vietnam meski ada di bawah Indonesia,
tetapi ke dua negara itu berhasil naik signifikan. Filipina (4,39)
berada di posisi 47, melompat 5 peringkat dari tahun lalu. Sedangan
Vietnam (4,30) melejit 12 peringkat ke posisi 56.
*******
Mungkin berita-berita ini bagi UMKM tidak "terlalu" menarik karena tidak bersinggungan langsung dengan keseharian usahanya, tetapi ketika mereka "merasakan" betapa sulitnya memasarkan produk mereka maka barulah mereka sadar apa arti dari semua yang ada di tulisan media tersebut di atas.
Kesadaran membangun daya saing adalah tanggung jawab semua pihak, baik dari pemerintah selaku regulator dan fasilitator maupun dari pelaku UMKM itu sendiri yang harus segera memahami arti sebuah "standard kualitas", "efisiensi", "efektivitas", "produktivitas" yang terangkum dalam "pembentukan harga jual". Asosiasi dan pelaku usaha besar pun dibutuhkan partisipasinya guna peningkatan daya saing melalui pengembangan kemitraan, terutama jejaring pemasaran produk UMKM.
Memang daya saing tidak hanya ditentukan oleh hal-hal tersebut di atas saja, melainkan masih banyak faktor penentu dalam penilaian global competitiveness tersebut. Beberapa permasalahan pokok yang terjadi dalam iklim usaha di Indonesia:
- Corruption (Korupsi)
- Inefficient government bureaucracy (Kinerja Birokrasi Pemerintah yang Tidak Efesien)
- Inadequate supply of infrastructure (Suplly Infrastructure yang Belum Memadai)
- Policy instability (Ketidakstabilan Kebijakan)
- Access to financing (Akses Pembiayaan)
- Tax rates (Tarif Pajak)
- Inflation (Inflasi)
- Complexity of tax regulations (Kerumitan Regulasi Pajak)
- Poor work ethic in labor force (Kurangnya Etika Kerja dalam Ketenagakerjaan)
- Foreign currency regulations (Regulasi Mata Uang Asing)
- Government instability/coups (Ketidakstabilan Pemerintah)
- Crime and theft (Kejahatan dan Pencurian)
- Adequately educated workforce (Tenaga Kerja Terampil Belum Memadai)
- Insufficient capacity to innovate (Kapasitas Inovasi Belum Cukup)
- Restrictive labor regulations (Pembatasan Regulasi Tenaga Kerja)
- Poor public health (Kurangnya Kesehatan Masyarakat)
Sementara Global Competitiveness Report Indonesia 2015-2016 adalah di peringkat 37, sementara di ASEAN ada Singapore di peringkat 2, Malaysia peringkat 18 dan Thailand di peringkat 32.
Terlepas dari teknis memahami penilaian daya saing Indonesia, kami dari pelaksana pembinaan UMKM di lapangan setidaknya memahami potret ekonomi Indonesia di kancah dunia. Dan karena cakupan kami adalah pembinaan UMKM di wilayah Jawa Tengah, tentunya kami akan melakukan upaya-upaya perbaikan kinerja daya saing produk lokal Jawa Tengah di pasar global.
Setidaknya pola kerja kami akan kami sesuaikan dengan tuntutan standard kualitas global untuk menghasilkan kualitas produk yang berstandard global. Inovasi pengembangan produk lokal sebagai bahan baku dengan teknologi yang memadai untuk menghasilkan produk yang khas dan unik juga perlu kami prioritaskan, efisiensi produksi dan peningkatan produktivitas merupakan kunci dalam penentuan harga jual yang kompetitif, membangun jaringan pemasaran dan jaringan supply yang luas dan selalu mencari alternatif pembiayaan UMKM yang kreatif.
Memang tidak mudah, tetapi setidaknya kami akan upayakan sekecil apa yang kami bisa. Tetap semangat !
Komentar
Posting Komentar