Langsung ke konten utama

Strategi Menghadapi Resesi Ekonomi - by Rudolf Tjandra

 
Rudolf Tjandra - Chief Marketing Officer & Executive Director PT Softer International
Strategi Menghadapi Resesi Ekonomi

Tidak perlu diyakinkan lagi bahwa kondisi ekonomi belakangan ini memerlukan strategi bisnis yang tepat. Nilai rupiah turun drastis dari level Rp9.500-an per dolar Amerika Serikat (AS) menjadi di kisaran Rp13,800 (August 18th, 2015) dan ekonomi kita yang selama bergantung kepada konsumsipun mengalami perlemahan yang cukup besar. Ada yang berandai andai seakan melemahnya nilai tukar Rupiah akan membantu meningkatan ekspor tapi pada kenyataannya dari komponen GDP= Consumption + Investment + Government Spending +Net Export, Consumption adalah pendorong terbesar ekonomi kita. Indonesia bukan sebuah export driven economy. Jadi selama consumption tetap lemah, belanja pemerintah tetap tersendat dan investasi bisnis tertunda selama itu pula perlemahan ekonomi akan berlanjut. Sebagai seorang yang selalu optimis kita yakin pemerintah akan terus mengambil langkah langkah untuk menjawab tantangan yang ada dengan baik dan sukses.

Nah sekarang bagaimana dan strategi apa yang harus diambil oleh pelaku bisnis konsumen di Indonesia?

Jawaban standar versi sekolah bisnis adalah: evaluasi kembali posisi risiko perusahaan Anda; hindari sikap ekspansif; realisasikan pembuatan contingency plan yang berjalan sejajar dengan strategic plan; fokus pada bisnis utama; terapkan diferensiasi yang relevan; kurangi biaya, dll. Standar jawaban tersebut kesemuanya berujung pada survival atau semaksimal mungkin pada upaya mempertahankan posisi. Pemikiran ini merujuk pada pengalaman historis yang menunjukkan penurunan daya beli berpihak kepada pemain yang sudah exist. Kita hanya perlu bersikap konservatif, dan mengencangkan ikat pinggang untuk mempertahankan posisi.

Tapi, apakah strategi ini masih relevan pada saat ini? Jawaban singkatnya untuk saya adalah tidak. Pelaku bisnis dan perusahaan yang pintar justru tumbuh pesat di saat resesi. Dalam kondisi ekonomi yang lemah konsumen akan lebih berhati-hati memilih produk dan merek. Mereka ingin belanja menjadi lebih efektif. Misalnya, dengan memilih produk dan merek yang secara konsisten mempersembahkan persepsi best value for money. Untuk menghemat biaya konsumen akan lebih cermat dalam melakukan pembelian. Small basket buying, berbelanja di toko-toko terdekat dan memilih merek-merek yang diyakini. Semua ini membuat aksesibilitas dan ketersediaan yang melebar (vs mendalam) menjadi faktor yang sangat penting. Dan, tidak kalah pentingnya pemilik merek harus dapat dan mau mempertahankan functional & emotional values yang ditawarkan oleh merek dan produk mereka. Untuk sesaat, program diskon yang tajam mungkin dapat menarik pembelian masa depan tapi juga akan memberikan kesan bahwa selama ini pemilik merek mengambil keuntungan terlalu besar untuk produk/merek yang sebenarnya tidak memiliki value yang diumbar sebelumnya.

Strategi yang efektif dimulai dengan merubah persepsi dari pemilik merek. Perlemahan ekonomi adalah saat yang paling tepat untuk mengambil pangsa pasar dari competitor yang pesimis. Kedepankan dan terapkan stategi volume before cost dan differentiation before price. Artinya menguatkan top line sekaligus mempertahan bottom line. Krisis tahun 1998 dapat dijadikan pelajaran dalam penerapan strategi ini. Kebanyakan merek-merek besar yang ada sekarang ini adalah merek-merek yang tidak menciut dalam menghadapi tantangan di masa krisis tersebut. Sampoerna adalah suatu contoh yang membanggakan. Sebagai pemain urutan ketiga di Indonesia pada waktu itu, Sampoerna seperti melawan arus malah meningkatan pengembangan organisasi dan competency karyawan, through-the-line aktifitas marketing, availability dan sekaligus menaikan harga-harga merek-merek utamanya. Alhasil pada akhir krisis Sampoerna sudah berhasil menjadi pemain no. 2 dan bahkan sudah melampaui Gudang Garam (pemain no 1) di beberapa kota penting.

Kejadian tersebut sejalan dengan berbagai riset yang dilakukan di berbagai negara membuktikan bahwa merek-merek yang mengambil langkah dan sikap proaktif dan memperlakukan resesi sebagai kesempatan adalah merek-merek yang kemungkinan besar akan menjadi merek-merek terkuat begitu resesi berakhir. Pembelajaran dari 26 global companies dalam periode 25 tahun terakhir misalnya menemukan bahwa perusahaan – perusahaan yang tetap mempertahan atau bahkan mengembangkan brand investment mereka telah membuahkan keuntungan yang jauh lebih tinggi daripada yang malah mengikuti ombang ambing business cycles.

Memang, dalam masa sulit, tidaklah mudah untung menyakinkan konsumen untuk memilih merek-merek tertentu. Karenanya optimal matching antara merek dengan kebutuhan konsumen mejadi suatu seni tersendiri dan pengalaman dan knowledge menjadi sangat penting. Disinilah peran marketer marketer handal Indonesia sangat dibutuhkan.

Komentar